Filsafat Hukum

HUKUM DALAM PENDEKATAN FILSAFAT

Sabila Amelia Mayesti

Universitas Islam Negeri Sumatera Utara 

Abstract

Ilmu pengetahuan harus dikembangkan berdasarkan nilai-nilai moral dan etika, sehingga ilmu pengetahuan benar-benar bermanfaat bagi peradaban umat manusia. Penting pula untuk memahami definisi atau pengertian filsafat ilmu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2010, dinyatakan filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya, teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan. Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philoshophia atau philosophos. philos atau pilein berarti teman atau cinta dan Sophia atau sophos berarti kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah. Filsafat berarti juga materacientiarum yang artinya induk dari segala ilmu pengetahuan. 

Kata Kunci: Ilmu Pengetahuan, Pemikiran, Ilmu Hukum, Filsafat, dan Perkembangan Ilmu. 

Filsafat dan Ilmu adalah dua kata yang saling berkaitan baik secara substansial maupun historis. Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat seringkali disebut oleh sejumlah pakar sebagai induk semang dari ilmu-ilmu. Filsafat merupakan disiplin ilmu yang berusaha untuk menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat dan lebih memadai. Filsafat telah mengantarkan pada sebuah fenomena adanya siklus pengetahuan sehingga membentuk sebuah konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur sebagai sebuah fenomena kemanusiaan. Masing-masing cabang pada tahap selanjutnya melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.

Perkembangan ilmu pengetahuan pada abad ke- 21 saat ini sangat pesat. Seiring kemajuan peradaban umat manusia, maka ilmu pengetahuan juga berkembang sangat dinamis. Kesejahtraan umat manusia juga sangat ditentukan oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Tidak dapat dipungkiri dalam mewujudkan masyarakat yang aman, tertib, damai dan sejahtra dalam konsep negara kesejahtraan (welfare state) sangat ditentukan oleh perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Manusia sebagai makhluk rasional memiliki suatu dorongan batin yang terus-menerus dan mendalam. Dorongan batin ini menurut ilmuwan Buzzati-Traverso ialah keingintahuan (curiosity) yang tak dapat ditindas untuk menemukan alam semesta dan dirinya sendiri serta meningkatkan kesadarannya tentang dunia yang didalamnya manusia hidup dan bertindak. Sehingga adigium ”science is power” dari Francis Bacon sudah semakin jelas kelihatan. Negara-negara yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dengan baik akan jauh lebih unggul dibandingkan dengan negara-negara yang hanya mengandalkan sumber daya alam saja. Namun demikian perkembangan ilmu pengetahuan harus disertai dengan pengembangan landasan yang baik supaya ilmu pengetahuan dapat berkembang kearah yang baik. 

Ilmu Hukum Ditinjau Dari Ontologi, Aksiologi dan Epistemologi

Pembicaraan tentang hukum tidak akan pernah berhenti sampai hukum itu menemukan keadilannya. Keadilan itu sendiri juga sering diperdebatkan tentang ruang dan waktunya. Inilah mengapa hukum dengan segala dimensi dan diskusinya tidak pernah berdiri sendiri. Salah satu pendekatan yang sering dipakai yaitu filsafat. Melalui filsafatlah hukum menemukan jati dirinya.

Filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti : 

• Objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan? (Landasan ontologis)

• Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)

• Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional? (Landasan aksiologis).

Ilmu filsafat memiliki objek material dan objek formal. Objek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan. Objek material adalah objek yang di jadikan sasaran menyelidiki oleh suatu ilmu, atau objek yang dipelajari oleh ilmu itu. Objek material filsafat illmu adalah pengetahuan itu sendiri, yakni pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) pengetahuan yang telah di susun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya secara umum. Objek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas objek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat ilmu. Objek formal adalah sudut pandang dari mana sang subjek menelaah objek materialnya. Yang menyangkut asal usul, struktur, metode, dan validitas ilmu. Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan, seperti apa hakikat ilmu pengetahuan, bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah dan apa fungsi ilmu itu bagi manusia. 

Ontologi menerangkan hakikat dari segala yang ada. Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama kenyataan yang berupa materi (kebendaan), dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan). Ontologi mencakup dua hal penting yaitu objek materiil dan objek formal. Demikian pula ilmu hukum dari segi ontologi memiliki dua objek yaitu objek materiil dan objek formal. Objek materiil ilmu hukum adalah manusia itu sendiri dan norma hukum, dan objek formal ilmu hukum adalah menyangkut asal usul, struktur, metode, dan validitas ilmu hukum. Ilmu hukum normatif mendeskripsikan objek-objeknya yang khusus. Objeknya adalah norma, bukan pola-pola perilaku nyata. Ilmu hukum menjelaskan norma-norma hukum yang diciptakan oleh tindak perilaku manusia dan harus diterapkan dan dipatuhi oleh tindakan tersebut; dan dengan demikian ia menjelaskan hubungan normatif antara fakta-fakta yang ditetapkan oleh norma-norma itu. 

Epistemologi, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan; logos biasanya dipakai untuk menunjuk pengetahuan sistematik. Sehingga dapat disimpulkan epistemologi adalah pengetahuan sitematik tentang pengetahuan. Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaianpengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Ilmu hukum ditinjau dari perspektif epistemologi jelas telah dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu ilmu dilihat dari metode keilmuan atau metode ilmiah. Ilmu hukum telah memiliki metodelogi atau metode keilmuan tersendiri yang menunjukkan bahwa ilmu hukum adalah ilmu yang telah jelas keberadaannya. Dari perspektif epistemologi, ilmu hukum dapat dilihat dari dasar konsepsional penelitian hukum. Dalam penelitian hukum adanya kerangka konsepsional dan landasan atau kerangka teoritis menjadi syarat yang sangat penting. Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum, dan didalam landasan atau kerangka teoritis diuraikan segala sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai suatu sitem aneka “theore’ma” atau ajaran. Dalam suatu penelitian hukum, maka paradigma kerangka konsepsional meliputi: masyarakat hukum; subjek hukum; hak dan kewajiban; peristiwa hukum; hubungan hukum; dan objek hukum. Demikian pula landasan atau kerangka teoritis pada penelitian hukum mempergunakan beberapa paradigma, antara lain: paradigma arti hukum; paradigma pembedaan hukum; dan paradigma pembidangan tata hukum.

Berdasarkan substansi ilmu, dibedakan antara ilmu formal dan ilmu empiris. Ilmu formal menunjuk pada ilmu yang tidak bertumpu pada pengalaman atau empiris, objek yang dipelajari dalam kelompok ilmu ini adalah struktur murni, yakni menganalisis aturan operasional dan struktur logikal, yang menyajikan skema tentang hubungan saling mempengaruhi antara manusia dan dunia, merancang jaringan (networks) seperti sistem penalaran dan sistem penghitungan, dan tidak mengungkapkan atau menunjuk pada kenyataan atau fakta empiris. Ilmu formal lebih merupakan ilmu tentang semua dunia yang mungkin. Kebenarannya tidak memerlukan pembuktian (verifikasi) empiris, melainkan hanya pembuktian rasional dan konsisten rasional. Jadi, produk kelompok ilmu ini tidak dinilai berdasarkan kebenaran, melainkan berdasarkan validitasnya (proses nalarnya). Substansi kelompok ilmu ini sering dipandang sebagai konvensi atau sistem bahasa formal dan pengetahuan yang dihasilkan adalah “a priori” yang dilanjutkan oleh para ilmuwan pada zamannya. Ilmu empiris ditujukan untuk memperoleh pengetahuan faktual tentang kenyataan aktual, yang bersumber pada empiri atau pengalaman. Kelompok ilmu ini dimaksudkan untuk menyajikan pertanyaan-pertanyaan atau penjelasan teoritis yang dapat diuji secara eksperimental atau empiris tentang proses yang terjadi dalam dunia kenyataan. Kebenaran pengetahuan yang dihasilkan menuntut pembuktian (verifikasi) empiris, disamping pembuktian rasional dan sejauh mungkin konsistensi. Karena bersumber dan bertumpu pada empiris, maka pengetahuan yang dihasilkannya disebut pengetahuan “a posteriori”. Ilmu-ilmu empiris, yang disebut juga ilmu positif, terdiri atas ilmu-ilmu alam (Naturewissenschaften) dan ilmu-ilmu manusia (Geisteswissenachaften). 

A.G.M. van Melsen, menambahkan Kelompok Ilmu Sejarah sebagai kelompok ketiga, disamping kelompok ilmu alam dan ilmu kelompok ilmu manusia, kedalam ilmu empiris. Objek formalnya adalah semua hal, namun dipandang dari sudut kegiatan manusiawi sebagaimana berlangsung dalam dimensi waktu. Ilmu formal dan ilmu empiris sebagaimana dipaparkan diatas, termasuk kedalam Kelompok Ilmu Teoritis, yakni ilmu yang ditujukan untuk memperoleh pengetahuan saja. Jadi, tujuan Kelompok Ilmu Teoritis adalah untuk mengubah (termasuk menambah) pengetahuan. Penerapan ilmu teoritis yang demikian disebut Teknologi. Pasangan Ilmu Teoritis adalah Ilmu Praktis yang harus dibedakan dari praktek penerapan ilmu teoritis yang dikemukakan tadi. Ilmu Praktis adalah ilmu yang mempelajari aktivitas penerapan itu sendiri sebagai obyeknya. Penerapan ilmu ini disebut “Ars” adalah keahlian berkeilmuan atau kemahiran yang dapat dan harus dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Kelompok ilmu praktis bertujuan untuk mengubah keadaan, atau menawarkan penyelesaian terhadap masalah konkret. Sebagai ilmu, kelompok ilmu ini tidak menyajikan kaidah moral, sama seperti kelompok ilmu teoritis. Namun, bagi Ilmu Praktis dan penerapannya berlaku kaidah moral yang disebut moral keahlian atau etika profesi.

Pendekatan terhadap Hakekat Keilmuan Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum

Ada 2 (dua) pendekatan yang dapat dilakukan untuk menjelaskan hakekat keilmuan hukum dan dengan sendirinya membawa konsekuensi pada metode kajiannya. Dua pendekatan tersebut ialah:

1. Pendekatan dari Sudut Pandang Filsafat Ilmu

Falsafah ilmu membedakan ilmu dari 2 (dua) sudut pandangan, yaitu pandangan hukum positivistik yang melahirkan ilmu empiris dan pandangan normatif yang melahirkan ilmu normatif.  Sudut pandang dari ilmu hukum memiliki 2 (dua) sisi tersebut. Pada satu sisi ilmu hukum dengan karakter aslinya sebagai ilmu normatif dan pada satu sisi lain ilmu hukum memiliki segi-segi empiris. Sisi empiris itulah yang menjadi kajian ilmu hukum empiris seperti sociological jurisprudence dan socio legal jurisprudence. Sudut pandang inilah ilmu hukum dibedakan atas ilmu hukum normatif yang metode kajiannya khas, sedangkan ilmu hukum empiris dapat dikaji melalui penelitian kualitatif atau kuantitatif, tergantung sifat datanya. Perbedaan antara Ilmu Hukum Normatif dengan Ilmu Hukum Empiris oleh D.H.M. Meuwissen digambarkan sebagai berikut:

- Ilmu Hukum Empiris secara tegas membedakan fakta dari norma;

- Bagi Ilmu Hukum Empiris, gejala hukum harus murni empiris, yaitu fakta sosial;

- Bagi Ilmu Hukum Empiris, metode yang digunakan adalah metode ilmu empiris.

Beberapa perbedaan mendasar antara ilmu hukum normatif dan ilmu hukum empiris, pertama-tama dari hubungan dasar sikap ilmuwan, dan yang sangat penting adalah teori kebenaran. Dalam ilmu hukum emperis sikap ilmuwan adalah sebagai penonton yang mengamati gejala-gejala objeknya yang dapat ditangkap oleh pancaindra. Dalam ilmu hukum normatif, yuris secara aktif menganalisis norma, sehingga peranan subjek sangat menonjol. Kebenaran ilmiah dari kebenaran hukum empiris adalah kebenaran korespondensi, artinya bahwa sesuatu itu benar karena didukung oleh fakta (correspond to reality). Ilmu hukum normatif dengan dasar kebenaran pragmatik yang pada dasarnya adalah konsensus sejawat sekeahlian. Di Belanda, halhal yang merupakan konsensus sejawat sekeahlian dikenal sebagai heersendeleer (ajaran yang berpengaruh). Ilmu hukum empiris dari segi disiplin hukum seperti yang digambarkan di atas tidak termasuk disiplin ilmu hukum (lihat paparan tentang lapisan ilmu hukum). 

2. Pendekatan dari Sudut Pandang Teori Hukum

Sisi pendekatan teori hukum, perlu terlebih dahulu menjelaskan tentang teori hukum itu sendiri. Teori hukum yang dimaksud adalah teori tentang hukum dan khususnya tentang hukum positif. Dengan “teori” orang yang sederhana dapat mengartikan suatu keseluruhan pernyataan (klaim, beweringen) yang saling berkaitan. Sebuah teori pada dasaarnya adalah untuk menjelaskan sesuatu, bahkan orang mengatakan bahwa tugas paling utama ilmuwan adalah menbangun teori-teori. Untuk dapat disebut seebagai teori ilmiah, maka teori itu harus memenuhi berbagai syarat (tuntutan). Secara umum orang berpendapat bahwa pada sebuah teori ilmiah setidak-tidaknya harus ada hipotesis atau sebuah penetapan permasalahan yang hendak digumuli oleh teori itu; harus ada metode tertentu yang dalam teori itu harus dilegitimasi dan harus ada seperangkat pernyataan yang konsisten dan dapat dikontrol, yang mewujudkan teori itu sebagai produk dari kegiatan ilmiah. Jika dengan teori diartikan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan, maka “Teori Hukum” dapat ditentukan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan pernyataan-pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan hukum. Oleh karena itu, tentang apa yang kita artikan dengan unsur “teori” (dari istilah “Teori Hukum”) dan kita harus mengarahkan diri pada unsur “hukum”. Dengan “teori hukum” penulis mengartikan sebagai sebuah “sistem konseptual kaidah-kaidah hukum dan keputusan-keputusan hukum (rechtsbeslissingen). Pendekatan keilmuan ilmu hukum dari sudut pandang teori hukum dibagi atas teori hukum dalam arti luas dan teori hukum dalam arti sempit. Teori hukum dalam arti luas menurut B. Arief Sidharta mengemukakan bahwa Filsafat Hukum yang satu berada di luar ilmu hukum, tetapi berada dalam teori hukum, pada yang lain berada di luar dua-duanya. Contoh yang terakhir adalah pendapat yang dikemukakan Meuwissen. Ia membedakan 3 (tiga) tatanan analisis. Filsafat hukum mewujudkan landasan dari keseluruhan teori hukum (jadi dalam arti luas). Pada tataran kedua terdapat teori hukum (dalam arti sempit) dan diatasnya terdapat bentuk terpenting pengembanan hukum teoritik, yakni ilmu hukum, ilmu hukum mengenal 5 (lima) bentuk: dogmatika hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum, sosiologi hukum,  psikologi hukum, termasuk pula teori hukum dalam arti sempit.

Sedangkan, teori hukum dalam arti sempit adalah bidang studi yang terletak antara dogmatika hukum dan filsafat hukum. M. van Hoecke mencoba menperjelas perbedaan dalam jenisjenis teori hukum dengan pengertian meta-teori. Istilah metateori adalah teori yang di dalamnya suatu teori yang direnungkan. Jadi, teori hukum yang satu dapat ditipikasi sebagai meta-teori dari dogmatika hukum, dan yang lainnya sebagai teori hukum dari hukum positif.

Ilmu hukum dalam pengembanannya berakar pada nilainilai sehingga berarti bahwa tata-hukum bermuatan sistem-sistem nilai. Pada nilai dengan perspektif titik berdiri internal terbatas (Bruggink), artinya ilmu hukum itu tidak bebas nilai. Karena obyek telaahnya adalah realitas yang sarat nilai dan Ilmu Hukum itu sendiri tidak bebas nilai, maka pengembanan Ilmu Hukum juga mengemban fungsi kritis terhadap obyek telaahnya yang akan mendorong penerapan dan pengembanan Ilmu Hukum berdapak atau menyandang sifat mengkaidahi dan dengan demikian secara langsung terlibat pada proses pembentukan hukum dan penemuan hukum. Berdasarkan uraian terdahulu, Ilmu Hukum bertujuan untuk:

a). Mengeleminasi kontradiksi yang tampak tampil dalam tata hukum; 

b). Merekomendasi interpretasi terhadap aturan hukum, jika aturan hukum itu kabur atau tidak memberikan kepastian;

c). Mengusulkan amandemen terhadap Perundang-undangan yang ada atau Pembentukan Undang-undang baru. 

Ada pendapat yang mengatakan bahwa karena filsafat hukum merupakan bagian khusus dari filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat hukum hanya mempelajari hukum secara khusus. Sehingga, hal-hal non hukum menjadi tidak relavan dalam pengkajian filsafat hukum. 

Filsafat hukum adalah pengetahuan tentang pemikiran mendalam, sistematis, logis, dan radikal tentang berbagai aturan yang berlaku dalam kehidupan manusia, baik aturan bermasyarakat maupun baturan bernegara.

Sebagai kesimpulan umum dari keseluruhan uraian terdahulu, maka Ilmu Hukum adalah ilmu praktis normologis yang mempelajari penerapan dunia keharusan ke dalam dunia kenyataan, yang masalah pokoknya adalah hal menentukan apa hukumnya bagi situasi konkret tertentu. Menurut Philipus M. Hadjon, sejalan dengan apa yang dikemukakan Bernard Arif Sidharta dalam makalahnya berjudul “Revitalisasi Pendidikan Tinggi Hukum” yang disampaikan dalam Seminar Nasional “Menata Sistem Hukum Nasional Menuju Indonesia Baru” pada tahun 1999, mengemukakan bahwa untuk melihat hakikat keilmuan ilmu hukum dapat dilakukan pendekatan melalui pendektan filsafat ilmu, pendekatan ilmu hukum dan pendekatan filsafat ilmu hukum. Pendekatan filsafat ilmu ada berbagai cara klasifikasi ilmu. Tujuan dari segi pengembangan ilmu, klasifikasi ilmu itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

- Ilmu Teoritis

- Ilmu Dasar

- Ilmu Terapan

Ilmu hukum adalah ilmu “Sui Generis”. Ilmu hukum dalam arti luas meliputi tiga lapisan ilmu hukum yakni: Filsafat Ilmu, Teori Hukum dan Dogmatik Hukum. Tiap lapisan memiliki karakter yang khas.Lapisan dogmatik hukum, obyek ilmu hukum adalah hukum positif. Ciri khas lapisan ini adalah konsep hukum yang teknis yuridis, sarat nilai (normatif). Lapisan teori hukum mempunyai 2 (dua) sisi yaitu kontemplatif dan sisi empiris. Ciri khas ilmu hukum pada lapisan ini adalah: konsep-konsep umum, karakternya interdisipliner. Mereka yang ahli dibidang ini disebut dengan: Rechtsteoriticus. Lapisan filsafat hukum adalah sangat spesifik karena filsafat hukum sendiri bukan dari ilmu hukum melainkan filsafat hukum yang diterapkan pada ilmu hukum. Ilmu hukum apabila diabadikan kepada praktek hukum yang meliputi kegiatan pembentukan hukum dan penerapan hukum. Dipandang dari sudut filsafat ilmu hukum (filosofie van de rechtwetenschap), C.A. van Peursen menggunakan istilah “rechtswetenschappen” (ilmu-ilmu hukum). Istilah itu jelas tidak hanya dikenal satu jenis ilmu hukum. Ilmu-ilmu hukum adalah semua kegiatan yang menjadikan hukum sebagai obyeknya, dengan kata lain hukum merupakan ilmu bersama (recht is mede wetenschap). Kegiatan pengembanan Ilmu Hukum, ilmuwan hukum dalam kegiatan ilmiahnya bertolak dari sejumlah asumsi dan bekerja dalam kerangka dasar umum (general basic framework) tertentu yang mempedomani kegiatan ilmiah dalam lingkungan komunitas ilmuwan hukum. Disiplin sebagaimana yang dipopulerkan oleh Thomas S. Kuhn dalam karyanya “Destructure of Sciencetific of Revolution” mengatakan bahwa perangkat asumsi dan kerangka umum tersebut disebut paradigma dalam Ilmu Hukum. Istilah paradigm disini menunjuk pada cara pandang atau kerangka berpikir yang mendasarkannya pada fakta atau gejala interpretasi dan dipahami, atau kerangka umum yang mempedomani kegiatan ilmiah dalam suatu disiplin dalam keilmuan itu sendiri. Adapun menurut Aarnio paradigma itu berfungsi sebagai “the central cognitive resource” untuk kegiatan ilmiah yang menentukan rasionalitas ilmiah dalam disiplin yang bersangkutan. Apabila diterapkan pada bidang hukum, maka paradigm dalam Ilmu Hukum akan menentukan ruang lingkup wilayah bekerjanya kegiatan ilmiahnya dan menentukan keabsahan masalah-masalahnya, dan dengan demikian berfungsi normatif bagi pengembanan Ilmu Hukum. Selanjutnya Aulis Aarnio mengemukakan bahwa matriks disipliner Ilmu Hukum itu mencakup unsur-unsur: (a) asumsi tentang pokok permasalahan dalam interpretasi yuridis; (b) asumsi tentang doktrin sumber hukum yang sah; (c) asumsi tentang asas dan aturan metodikal yang secara umum dianut dalam interpretasi yuridis dan sistematis hukum; (d) asumsi tentang nilai dan penilaian yang menguasai interpretasi tentang hukum dan sasaran-sasarannya. 

Daftar Pustaka

Driano Buzzati - Traverso, The scientific Enterprise, Today and Tomorrow, p. 3, dalam The Liang Gie, 1987, Yogyakarta: Yayasan Studi Ilmu Dan Teknologi, 1977.

Nasution, M. S. A., (2013). Filsafat Hukum Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo persada.

Nasution, M. S. A., & Nasution, R. H (2020). Filsafat Hukum Islam & Maqashid Syariah (cet. Ke-1). Jakarta: Kencana. 

Nasution, M. S. A., Lubis, Z. P., Iwan., Faury, A (2015). Hukum Dalam Pendekatan Filsafat (cet. Ke-1). Jakarta: Kencana. 

Komentar